Mengamati, ilmu dasar kehidupan.

Saya terdiam. Mulut rapat, tidak tersenyum, tidak pula murung. Mata menyipit, berakomodasi hingga mencapai fokus yang diinginkan. Telinga mendengar dengan jelas. Sejelas desir angin sepoi-sepoi terdengar, sejernih tetesan air di luar sana terdengar. Nampaknya serius, namun nyatanya santai karena tidak ada otot yang tegang.

Ya. Posisi ini posisi mengamati. Sejak beberapa tahun terakhir, semenjak bersentuhan dengan sesuatu hal yang disebut dengan ‘filosofi’—sebenarnya lebih tepat bila disebut dengan ‘engineering-economic-political senses’, dimana dibalik suatu aksi pasti terdapat hal-hal terstruktur namun penuh kejutan yang menyebabkan keluarnya ‘aksi’ itu. Entah itu kebutuhan, entah itu emosi, entah itu kepentingan tertentu. Karena setiap hukum memiliki formula, dan formula tersebut tersusun atas variabel-variabel dan konstanta dengan jumlah yang berbeda, namun memiliki pola yang sama dan berulang—formula itu sendiri. Lalu saya berusaha untuk memahami hidup—dengan pikiran saya sendiri, mencari-cari pola, dengan mengamati secara langsung.

Interaksi antar-manusia, fenomena-fenomena alam—yang kadang bisa kita temui dalam kehidupan manusia, adalah objek pengamatan yang tiada habisnya untuk diamati. Seakan-akan alam semesta tengah mengajari kita untuk bertindak mengikuti fenomena-fenomenanya. Mencari-cari dimana keterkaitan perilaku manusia ini terhadap hukum alam itu. Semudah gravitasi, apel jatuh ke bumi. Pengaruh komunitas yang ‘beratnya’ trilyunan kali lebih besar akan membuat seorang manusia ‘tertarik’ mengikutinya, berbanding terbalik dengan ‘jangkauan’ diantara si komunitas dan individu.

Terkadang saya duduk di sini. Duduk mengamati. Bagaimana obrolan-obrolan ‘anak jaman sekarang’ mengenai tren-tren aktualisasi diri, telepon genggam bermerk tertentu, jejaring sosial terdepan saat ini, masalah beratnya kuliah, atau apapun yang mereka ributkan—dengan berbagai macam ekspresi, intonasi, karakter, masing-masing individu yang konon (sampai saat ini) makhluk Tuhan yang paling mulia ini.

Saya menyukai ini. Lama kelamaan saya mengenal karakter orang ini, saya menebak-nebak apa yang akan dilakukannya lima detik kemudian, saya membandingkan dengan kebanyakan manusia lainnya dengan latar belakang yang tidak berbeda jauh, mencari-cari polanya, lalu membuat hipotesis: mengapa dia berpikir begini, tetapi malah melakukan hal itu?

Kadang tebakan saya benar, namun lebih sering salah. Kadang yang dilakukannya konyol, membuat saya tersenyum, bahkan tertawa sendiri. Tapi ini selalu menarik. Dan tidak akan ada waktu terbuang jika kita mengamati manusia, karena selama spesies dominan di dunia kita ini manusia, maka kunci untuk bertahan di dunia ini adalah mengetahui sebanyak-banyaknya pola-pola tersebut. Ya, semudah itu.

Tidak ada komentar: