Subsidi dan Kedewasaan Bermasyarakat

Saat ini tengah berlangsung dinamika yang cukup sengit terkait pertimbangan pemerintah Indonesia untuk menaikkan harga BBM, atau dengan kata lain, menurunkan besaran subsidi BBM dari pemerintah. Cukup banyak pihak yang kontra, tapi tidak sedikit juga orang-orang yang mendukung keputusan pemerintah ini, terlepas bahwa ada kepentingan politiknya atau memang benar-benar rasional dalam berpikir.
Menurut pendapat saya, mau tidak mau memang besaran subsidi BBM dari pemerintah secara perlahan harus dikurangi. Karena dari tahun ke tahun, penggunaan subsidi BBM oleh masyarakat selalu saja melebihi kuota yang ditetapkan pemerintah, entah itu salah perhitungan (budgeting), atau memang masyarakat kita yang terlalu konsumtif. Apabila pemerintah salah menghitung-hitung saya rasa tidaklah mungkin, karena penentuan ABPN tidaklah mungkin dibuat secara serampangan. Mungkin menurut saya, untuk menalangi subsidi BBM serta pengeluaran yang lain, tentu saja sektor penerimaan kas negara harus lebih diperbanyak. Penarikan pajak harus dipergalak menurut saya, karena masih sangat banyak orang-orang yang mengemplang pajak di luar sana. Kesadaran untuk membayar pajak juga masih rendah di kalangan masyarakat. Tidak seperti negara-negara maju yang proporsi penerimaan pajaknya lebih dari 70% dari keseluruhan pendapatan negara, memang pendapatan Indonesia dari pajak masih sangat rendah menurut saya. Kondisi ini memang sangat berbeda, karena di negara maju sana manfaat dikenakannya pajak yang besar dapat mereka rasakan langsung, seperti social benefit untuk masyarakat tidak mampu, meliputi biaya hidup, biaya kesehatan, dan lain-lain.
Apabila dilihat dari sisi tingkat konsumsi masyarakat yang luar biasa banyak ini, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat kita memang luar biasa konsumtif. Menurut data terbaru saja, tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia mencapai 113 kg per orang per tahun, lebih besar dari Jepang yang hanya 60 kg per kapita per tahun, atau Malaysia yang hanya 80 kg per kapita per tahun saja. Di saat pabrikan smartphone seperti RIM yang sedang kebingungan karena tingkat penjualan produk mereka di pasar utama seperti di Amerika dan Eropa tengah menurun drastis, di Indonesia anehnya makin banyak yang menggunakan produk RIM, entah membeli resmi, atau malah di pasar gelap (yang kurang ajarnya tidak membayar pajak). Fenomena anomali ini  tentu dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan asing yang terus ingin mengejar profit. Begitu pula dengan pembelian kendaraan bermotor, setiap tahun pertumbuhannya sangat besar mengikuti garis eksponensial!
Dan menurut saya pribadi, tingkat konsumsi yang keterlaluan tingginya ini tidak bisa serta merta dibiarkan begitu saja oleh pemerintah. Subsidi-subsidi untuk mereka yang sudah mampu harus segera dihapus, karena sama saja memanjakan orang-orang mampu itu saja.
Maka, cepat atau lambat, subsidi BBM harus dikurangi. Kalaupun harga BBM tidak mengalami kenaikan, pengalokasian subsidi benar-benar harus jatuh ke masyarakat yang memang kurang mampu, dan pemerintah harus mengontrolnya. Misalnya subsidi BBM itu hanya boleh digunakan oleh kendaraan plat kuning alias kendaraan angkutan umum. Dan peremajaan serta peningkatan kualitas angkutan umum juga harus selalu ditingkatkan apabila kemakmuran masyarakat ingin ditingkatkan. Penerapan insentif juga harus diberlakukan kepada masyarakat yang membeli kendaraan bermotor dengan tingkat konsumsi bahan bakar yang super irit seperti kendaraan hybrid, yang secara tidak langsung memaksa produsen kendaraan bermotor untuk melakukan inovasi lebih baik, bukan hanya inovasi fitur kendaraannya saja. Sehingga kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya pun dapat kita capai. Hal itu saya anggap karena masyarakat sejahtera bukanlah mereka yang apabila bepergian selalu menggunakan kendaraan pribadinya dengan menggunakan sudsidi pemerintah, tapi masyarakat yang sadar lingkungan dengan ikut menggunakan kendaaran umum dan juga menikmatinya.