Masih seputar ironi

Ironi, apa sih maksudnya?
menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang disediakan http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi, adalah kejadian atau situasi yg bertentangan dng yg diharapkan atau yg seharusnya terjadi, tetapi sudah menjadi suratan takdir.
melihat definisi itu, saya menjadi tergelitik sendiri melihat realita di negeri ini. Walaupun banyak hal yang masih bisa dibanggakan. Mari kita tarik nafas sebelum mulai memberatkan otak dengan tulisan berikut
Mari kita mulai dari pengalaman sehari-hari di jalan, terutama jalanan Jakarta. Lalu lintas yang hiruk pikuk, kendaraan berseliweran, ada yang tertib, ada yang main serobot, ada juga yang berhenti dan parkir sembarangan. Entah dampaknya langsung atau tidak langsung, tapi kehidupan di jalan (termasuk orang yang memang tinggal di jalan), adalah cerminan kehidupan kita, kalau boleh dikatakan peradaban kita walaupun jadi sedikit naif. Selain yang sudah disebutkan, perilaku tidak tertib di jalan atau fasilitas umum lainnya banyak sekali. Dan tentu bukan cuma berdampak kepada diri sendiri, tapi juga berdampak ke orang lain, yah seperti istilah mereka anggota Panitia Khusus di dewan terhormat sana, sistemik sekali dampaknya.
Agak ribet dan susah kalau cuma berteori tanpa dasar, jadi saya beri contoh saja. Dan silahkan dinilai bagaimana pendapat dan nurani Anda berbicara.
Buang sampah sembarangan, bahkan ke sungai seperti rutinitas bagi mereka yang memang tinggal di pinggir (kasarnya bantaran) sungai. Tahukah anda, padahal sudah diberikan fasilitas berupa tempat sampah, yah walaupun memang jauh dari rumah. Maka yang terjadi kemudian adalah perilaku spontan, yaitu balik kanan, terlemparlah sampah ke sungai. Apa yang akan terjadi dengan sampah itu tidak mereka pedulikan, cuma diingat saja saat musim hujan mulai tiba. Tidak tahu kan harus disalahkan atau tidak perlikau itu, kan mereka bertindak spontan? Ya, banyak orang bilang mereka begitu karena tidak diberi penyuluhan (kasarnya tidak berpendidikan). Lantas bagaimana, sudah sifat mereka begitu. Ironis memang...hhmm...
Tarik nafas lagi..
Tanpa disadari, perilaku bermotif "serba spontan" itu berdampak sistemik, lho. Bermacam dampaknya, tapi intinya cuma 1, mencari keuntungan. Lantas keuntungan orang yang buang sampah sembarangan apa? Ya mereka tidak mau capek-capek memikirkan sampah itu. Sampah kan bau, menjijikkan, bernilai rendah, tidak berguna. Dengan mereka buang, selesai sudah pikiran mereka yang "menguras tenaga" tentang si sampah. Dibuang ke sungai, kata mereka, "itu hak saya, kan belakang rumah saya sungai". itu contohnya..
Dengan dicekoki televisi yang memberikan berbagai macam "keindahan", mereka yang dari berawal berprinsip hidup spontan pastinya tergiur. Berbondong-bondonglah mereka ikut ajang pencarian bakat (bahkan untuk masuk kuliah, bakat juga diuji, haha..), ikut casting, ikut sana, ikut sini..yang penting 1, mereka bisa tampil di TV dan dilirik orang, bagaimana orang meliriknya, itu hak masing-masing. Maka dengan mudahnya diprediksi, muncullah orang-orang bayaran. Kenapa mudah diprediksi? Ya wajar saja, dari dulu kita sudah mengenal Jame Bond, kan? Seorang agen rahasia bayaran karangan Ian Fleming. Walaupun tidak disebut bayaran, tapi dengan resiko nyawa seperti di film-filmnya, masak tidak dibayar?
Maka muncullah penonton bayaran, pengemis (bukan bayaran, tapi digerakkan agar mereka dibayar orang yang bersimpati), preman bayaran, bahkan...demonstran bayaran (untuk yang terakhir, bakal di bahas di salah satu acara).
Ya, tidak semua orang tahu hal-hal seperti itu. Menurut saya itu terjadi karena besarnya harapan rakyat kepada pemerintah, ya lapangan pekerjaanlah, kesejahteraanlah, kalau bisa semua digratiskan (kalau bisa..)
Jadilah barisan sakit hati itu mencari celah untuk bekerja. Acara hiburan televisi butuh penggembira agar dikatakan "meriah", terbuka celah para pencari penonton bayaran itu. Dan si pencari sekaligus pengerah penonton itu, asal anda tahu saja, gajinya bisa mengalahkan gaji insinyur atau wisudawan lulusan universitas dan kerja mapan. Dari mana si pengerah penonton itu dapat uang? Dari hasil narik (boleh saya katakan upeti) dari para penonton bayaran acara televisi (layaknya budak) itu yang biasanya dibayar selembar uang berwarna hijau (masih rupiah, bukan Dollar). Orang yang berunjuk rasa, atau apapun itu yang selalu bermodalkan arahan massa juga berubah dan melenceng dari tujuannya, karena ajakan tetangga karena di situ rame (entah melakukan apa) dan BAGI BAGI DUIT, dengan mengerikan ribuan orang langsung bergerak. Luar biasa kekuatan uang itu, padahal nilai mata uang kita itu sebenarnya menyedihkan, boleh dikatakan banci, seperti Andrea Hirata katakan.
Bukan bermaksud merendahkan mereka yang melakukan, tapi itulah realita di kehidupan negara kita. Negara lain? Tidak tahu juga. Mari bertanya kepada rumput yang bergoyang (kalau masih ada rumput).