tulisan ini saya kutip dari situs Ikatan Alumni Insan Cendekia, www.insancendekia.org
THE LEGACY, 04 January 2010
Indonesia adalah negara yang ‘unik’. Ketika keran demokrasi ditutup pada masa orde baru, rakyat selalu menggerutu. Rakyat beranggapan hak-hak asasi mereka dalam mengutarakan pendapat tidak dihargai oleh sang penguasa. Rakyat sama sekali tidak diberi ruang untuk mencampuri urusan pemerintahan. Akhirnya, karena tuntutan rakyat pula, rezim pengekang hak rakyat itupun jatuh juga, dan diganti oleh era yang baru, yaitu reformasi.
Pada era reformasi, rakyat diberi kebebasan yang seluas-luasnya untuk bisa mengutarakan pendapatnya, bahkan untuk melayangkan kritik terhadap pemerintah sekalipun. Hal ini tentu tidak akan bisa ditemui pada masa orde baru yang kental dengan istilah ‘untouchable government’. Dengan kebebasan itu, rakyat pun bersorak riang gembira karena hak-haknya—khususnya dalam hal berpendapat—telah mendapat tempat di hati pemerintah. Saking riang gembiranya, ternyata kebebasan berpendapat itu banyak yang kebablasan. Itu bisa kita lihat dari tingkah laku ‘unik’ para elit politik negeri yang juga ‘unik’ ini. Tingkah laku ‘unik’ tersebut semakin marak ditemui di media akhir-akhir ini, terutama setelah terpilihnya SBY-Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2009-2014. Dikatakan ‘unik’ karena para elit politik bukannya sibuk memikirkan bagaimana nasib orang miskin, pemulung, pengamen jalanan, pengemis, pengais sampah, tukang sayur, tukang becak, dll, akan tetapi mereka malah sibuk bertengkar, saling fitnah, saling sindir, saling gunjing, saling menyudutkan, dan saling menjatuhkan satu sama lain. Lalu, bagaimana dengan nasib rakyat ???
Politisi Bertengkar, Rakyat pun Terlantar
Setelah reformasi, di negeri ‘unik’ bernama Indonesia ini, telinga kita sering ‘dimanjakan’ dengan pernyataan-pernyataan pedas yang menghujam pemerintah (baca: Presiden dan jajaran kabinetnya). Siapapun Presidennya—apalagi yang incumbent—terus mendapat hujaman penyataan pedas dari lawan-lawan politiknya. Entah pernyataan itu memang sebuah fakta, ataukah hanya sebuah strategi (baca: fitnah) untuk menjatuhkan sang penguasa.
Kalau boleh jujur, sebenarnya rakyat (khususnya rakyat kecil) bingung dengan apa yang sedang terjadi. Mereka seolah tidak diperhatikan oleh para petinggi bangsa yang terus bertengkar satu sama lain. Banyak lawan-lawan politik pemerintah selalu bilang, “kami melakukan ini (kritik-kritik pedas) demi kepentingan rakyat, kami prihatin dengan kondisi rakyat, bla…, bla…, bla…”. Tidakkah mereka berpikir bahwa apa yang sebenarnya mereka lakukan justru membuat para tukang sayur, tukang becak, pedagang asongan, pengemis, dan pengamen merasa bingung dan semakin merasa tidak diperhatikan ?
Akhir-akhir ini, konsentrasi pemerintah banyak tersedot untuk meladeni berbagai macam fitnah dan serangan tajam dari para ‘politisi pengincar jabatan’. Sering kita temui di berbagai kesempatan, pemerintah mencoba menangkal tuduhan-tuduhan dan fitnah-fitnah yang terus menghujam—terlepas apakah tuduhan dan fitnah itu merupakan fakta atau bukan. Hal tersebut wajar dilakukan demi menjaga citra dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Karena kalau rakyat sudah mengalami distrust, bukan tidak mungkin pemerintah akan digulingkan oleh rakyat (people power). Tetapi, jika tuduhan dan fitnah itu semakin menjadi-jadi, dan pemerintah pun selalu berusaha untuk menangkalnya, kapan pemerintah melakukan pembangunan ? Kapan pemerintah mencurahkan pikiran untuk rakyat kecil ? Siapa yang paling bertanggung jawab dalam hal ini, para ‘politisi pengincar jabatan’ atau pemerintah ?
Alangkah baiknya dan alangkah bijaknya jika lawan-lawan politik pemerintah juga melakukan tindakan konkret kepada rakyat dan membuat taraf hidup rakyat meningkat. Bukan hanya rajin untuk melancarkan serangan-serangan tajam pada pemerintah yang bersifat provokatif, membat opini publik yang sembarangan, mengelu-elukan “turunkan Presiden beserta jajarannya” atau “kudeta sekarang juga”. Tidakkah ini sebenarnya menunjukkan bahwa lawan-lawan politik pemerintah hanya ingin memperoleh kekuasaan semata ? Bagaimana idealisme ‘demi kepentingan rakyat’ bisa terwujud jika mereka hanya mendewakan kekuasaan dan jabatan ?
Persatuan = Kekuatan
Indonesia yang ‘unik’ ini juga membawa ironi bagi rakyat kecil. Elit-elit politik dan petinggi-petinggi parpol bukannya membuat kebijakan yang jitu untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, mereka malah saling sikut, saling gunjing, saling fitnah, dan saling bertengkar satu sama lain demi jabatan dan kekuasaan. Para akademisi lebih mementingkan dirinya sendiri untuk duduk manis di kursi empuk di dalam ruang kelas yang ber-AC, menulis di meja yang halus dengan segala goresan nilai pada kertas ujian, dan menikmati fasilitas di dalam pagar kampus tanpa mau berbaur dengan rakyat miskin, rakyat yang tidak bisa baca-tulis, rakyat yang kikuk dalam menghitung, dan rakyat yang selalu jadi korban pembodohan. Segelintir oknum yang memiliki jabatan sibuk memperkaya diri. Pemerintah sibuk meladeni perlawanan keras dari lawan-lawan politknya, dsb. Itulah fenomena yang terjadi sekarang. Rakyat bingung, rakyat capek, rakyat lelah, rakyat merasa tidak diperhatikan, rakyat gusar dengan semua bualan, fitnah, pergunjingan, dan pertengkaran yang terjadi justru di ‘level atas’. Belum lagi ditambah dengan segelintir mahasiswa yang melakukan aksi-aksi anarkis dengan melakukan pengrusakan massal di beberapa penjuru nusantara. Lengkap sudah penderitaan rakyat. Satu kata yang tepat mewakiliki ini semua, IRONIS.
Coba kita bayangkan, seandainya pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat, elit-elit politik (baik yang pro maupun yang kontra terhadap pemerintah), petinggi-petinggi partai politik, dan para akademisi saling bahu-membahu, bertekad bersama untuk membawa negeri ini melesat menjauhi keterpurukan. Pasti hal tersebut akan menjadi sebuah energi yang luar biasa, sangat kuat dan sangat positif, sehingga cita-cita kita bersama untuk menjadi sebuah bangsa yang maju benar-benar bisa terwujud.
Perlu disadari, tanggung jawab membangun bangsa ini bukan hanya terletak di tangan pemerintah. Tanggung jawab membangun bangsa ini terletak di tangan kita semua, Warga Negara Indonesia. Kalangan akademisi (termasuk mahasiswa) dengan intelektualitas yang dimilikinya bisa memberi pendidikan, pemberdayaan, dan pembangungan kecil-kecilan di desa-desa terpencil. Elit-elit politik bisa menyisihkan sebagian hartanya untuk membantu dan memberdayakan rakyat yang kurang mampu. Perusahaan dengan mekanisme CSR-nya bisa melakukan berbagai hal yang dapat menolong warga sekitarnya. Partai politik dengan segala visi dan misi yang dimilkinya bisa melakukan banyak sekali program kerja konkret untuk membantu rakyat-rakyat kecil. Dan pada akhirnya, pemerintah dengan segala otoritas yang dimilikinya bisa membuat kebijakan-kebijakan yang mengangkat rakyat dari keterpurukan. Poinnya, kita semua bisa melakukan apa saja untuk rakyat dan untuk bangsa ini dalam kapasitas kita masing-masing. Jika hal itu dilakukan, yakinlah dengan sendirinya bangsa ini akan melesat menjadi bangsa yang maju di kemudian hari. Aamiiin…