Kenapa ya?

kenapa ya, orang Indonesia kan otaknya canggih2, terbukti dengan mendominasi Olimpiade Internasional.
tapi saat tenaga kerjanya diadu dengan negara lain, bahkan di wilayah ASEAN sekalipun, malah tidak berkutik??

Owl City - Fireflies

awal mendengar juga melihat videoclip lagu ini..jujur aja saya kurang suka..dan bosen juga, hampir tiap jam diputar di MTV
tapi keren juga setelah disimak :D
enjoy this clip..and credit to PiaFindetNemo

Masih seputar ironi

Ironi, apa sih maksudnya?
menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang disediakan http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi, adalah kejadian atau situasi yg bertentangan dng yg diharapkan atau yg seharusnya terjadi, tetapi sudah menjadi suratan takdir.
melihat definisi itu, saya menjadi tergelitik sendiri melihat realita di negeri ini. Walaupun banyak hal yang masih bisa dibanggakan. Mari kita tarik nafas sebelum mulai memberatkan otak dengan tulisan berikut
Mari kita mulai dari pengalaman sehari-hari di jalan, terutama jalanan Jakarta. Lalu lintas yang hiruk pikuk, kendaraan berseliweran, ada yang tertib, ada yang main serobot, ada juga yang berhenti dan parkir sembarangan. Entah dampaknya langsung atau tidak langsung, tapi kehidupan di jalan (termasuk orang yang memang tinggal di jalan), adalah cerminan kehidupan kita, kalau boleh dikatakan peradaban kita walaupun jadi sedikit naif. Selain yang sudah disebutkan, perilaku tidak tertib di jalan atau fasilitas umum lainnya banyak sekali. Dan tentu bukan cuma berdampak kepada diri sendiri, tapi juga berdampak ke orang lain, yah seperti istilah mereka anggota Panitia Khusus di dewan terhormat sana, sistemik sekali dampaknya.
Agak ribet dan susah kalau cuma berteori tanpa dasar, jadi saya beri contoh saja. Dan silahkan dinilai bagaimana pendapat dan nurani Anda berbicara.
Buang sampah sembarangan, bahkan ke sungai seperti rutinitas bagi mereka yang memang tinggal di pinggir (kasarnya bantaran) sungai. Tahukah anda, padahal sudah diberikan fasilitas berupa tempat sampah, yah walaupun memang jauh dari rumah. Maka yang terjadi kemudian adalah perilaku spontan, yaitu balik kanan, terlemparlah sampah ke sungai. Apa yang akan terjadi dengan sampah itu tidak mereka pedulikan, cuma diingat saja saat musim hujan mulai tiba. Tidak tahu kan harus disalahkan atau tidak perlikau itu, kan mereka bertindak spontan? Ya, banyak orang bilang mereka begitu karena tidak diberi penyuluhan (kasarnya tidak berpendidikan). Lantas bagaimana, sudah sifat mereka begitu. Ironis memang...hhmm...
Tarik nafas lagi..
Tanpa disadari, perilaku bermotif "serba spontan" itu berdampak sistemik, lho. Bermacam dampaknya, tapi intinya cuma 1, mencari keuntungan. Lantas keuntungan orang yang buang sampah sembarangan apa? Ya mereka tidak mau capek-capek memikirkan sampah itu. Sampah kan bau, menjijikkan, bernilai rendah, tidak berguna. Dengan mereka buang, selesai sudah pikiran mereka yang "menguras tenaga" tentang si sampah. Dibuang ke sungai, kata mereka, "itu hak saya, kan belakang rumah saya sungai". itu contohnya..
Dengan dicekoki televisi yang memberikan berbagai macam "keindahan", mereka yang dari berawal berprinsip hidup spontan pastinya tergiur. Berbondong-bondonglah mereka ikut ajang pencarian bakat (bahkan untuk masuk kuliah, bakat juga diuji, haha..), ikut casting, ikut sana, ikut sini..yang penting 1, mereka bisa tampil di TV dan dilirik orang, bagaimana orang meliriknya, itu hak masing-masing. Maka dengan mudahnya diprediksi, muncullah orang-orang bayaran. Kenapa mudah diprediksi? Ya wajar saja, dari dulu kita sudah mengenal Jame Bond, kan? Seorang agen rahasia bayaran karangan Ian Fleming. Walaupun tidak disebut bayaran, tapi dengan resiko nyawa seperti di film-filmnya, masak tidak dibayar?
Maka muncullah penonton bayaran, pengemis (bukan bayaran, tapi digerakkan agar mereka dibayar orang yang bersimpati), preman bayaran, bahkan...demonstran bayaran (untuk yang terakhir, bakal di bahas di salah satu acara).
Ya, tidak semua orang tahu hal-hal seperti itu. Menurut saya itu terjadi karena besarnya harapan rakyat kepada pemerintah, ya lapangan pekerjaanlah, kesejahteraanlah, kalau bisa semua digratiskan (kalau bisa..)
Jadilah barisan sakit hati itu mencari celah untuk bekerja. Acara hiburan televisi butuh penggembira agar dikatakan "meriah", terbuka celah para pencari penonton bayaran itu. Dan si pencari sekaligus pengerah penonton itu, asal anda tahu saja, gajinya bisa mengalahkan gaji insinyur atau wisudawan lulusan universitas dan kerja mapan. Dari mana si pengerah penonton itu dapat uang? Dari hasil narik (boleh saya katakan upeti) dari para penonton bayaran acara televisi (layaknya budak) itu yang biasanya dibayar selembar uang berwarna hijau (masih rupiah, bukan Dollar). Orang yang berunjuk rasa, atau apapun itu yang selalu bermodalkan arahan massa juga berubah dan melenceng dari tujuannya, karena ajakan tetangga karena di situ rame (entah melakukan apa) dan BAGI BAGI DUIT, dengan mengerikan ribuan orang langsung bergerak. Luar biasa kekuatan uang itu, padahal nilai mata uang kita itu sebenarnya menyedihkan, boleh dikatakan banci, seperti Andrea Hirata katakan.
Bukan bermaksud merendahkan mereka yang melakukan, tapi itulah realita di kehidupan negara kita. Negara lain? Tidak tahu juga. Mari bertanya kepada rumput yang bergoyang (kalau masih ada rumput).

Sedikit ironisme untuk direnungkan

Ironis...
Disaat banyak anak terancam busung lapar, dengan mudahnya uang sebayak 6,7 triliun rupiah digelontorkan untuk menyelamatkan sebuah bank gagal kelola.
Ironis..
Warga di belahan bumi selatan kelaparan karena ternaknya mati sedangkan warga di belahan bumi utara kelaparan karena untuk keluar mencari makanpun tidak bisa karena ekstremnya cuaca..
Seperti analogi roda, ada saat di atas ada juga saat di bawah
Ada siang dan malam
Ada si kaya dan si miskin
Itu semua hanya sebagian ironisme yang mudah dilihat. Tujuannya hanya 1
Menunjukkan kuasa Sang Pencipta
Sang Maha Segalanya
Si kaya dengan mudahnya bisa saja bernasib seperti si miskin
Si perkasa dengan mudahnya dapat terkapar selamanya di atas pembaringan
Semua telah diatur olehNya

Orkes Sakit Hati - Slank


jangan kau kecewakan aku lagi
aku gak mau menderita lagi
kalau ingkari janji
aku gak mau kebawa emosi
jangan biarkan aku sakit hati
karna ingkari janji

cinta dan kepercayaan yang kuberikan


jangan sampai kau sia-siakan
jangan ingkari janji

jangan, jangan kau bohongi aku lagi
banyak bicara cuma basa-basi
coba ingkari janji
semua yang kau inginkan selalu kuberi


kulakukan semua walau sampai mati
jangan ingkari janji

kebebasan yang kamu dapatkan


bukan jadikan boleh sembarangan
kamu sudah berjanji

jangan ingkari janji


mending jangan berjanji

Wither by Dream Theater

 enjoy.... :)



Let it out, let it out
Feel the empty Space
So insecure find the words and let it out


Staring down, staring down
Nothing comes to mind
Find the place turn the water into wine

But I feel I'm getting nowhere
And I'll never see the end

So I wither
And render myself helpless
I give in and everything is clear
I breakdown
And let the story guide me


Turn it on
Turn it on
Let the feelings flow
Close your eyes
See the ones you used to know

Open up open up
Don't struggle to relate
Lure it out
Help the memory escape
Still transparantness consumes me
And I feel like giving up


So I wither
And render myself helpless
I give in
And everything is clear
I breakdown
And let the story guide me


I wither
And give myself away

Light reflections on the cage
The worlds want to create

I drown in hesitation
My words come crashing down
And all my best creations
Burning to the ground

The final staring over
Leaves me paralysed
Tear it out again
Another one that got away


I wither
And render myself helpless
I give in
And everything is clear

I breakdown
And let the story guide me
I wither
And give myself away

Light reflections on the cage
The worlds want to create
The worlds which you create


Let it out let it out

Ternyata kita (harusnya) bisa

Melihat judul di atas, pasti udah bisa ditebak kalo posting membahas 1 hal: pemerintah :D
100 tahun (jangan lupakan 5 tahunnya juga) pemerintahan negara kita menyiapkan (kembali) fondasinya untuk 5 tahun ke depan (semoga kesampaian 5 tahun). Tapi saya gak mau ngomentarin orang yang di atas sekarang, tapi orang-orang di bawah mereka tapi di atas garis-garis kemiskinan. Ingat kan kalo bangsa kita pernah dijajah berabad-abad? Secara tidak langsung, hal itu menurut saya membentuk masyarakatnya. Culture stelsel, romusha, dan segala jenis pemerasan tenaga dilakukan penjajah. Hal ini membuat bangsa kita menjadi pekerja keras. Ya, kita jadi bekerja keras kalo DIPAKSA!! Pasti anotasi ini membuat telinga anda panas dan berhasrat mencari penulis posting ini dan ingin segera menggorok lehernya. Tapi itu kenyataan kan?  Oke kita cari bahasan lain. Apa ya? Oh, saya ingat
Bangsa kita yang dulu terdiri dari berbagai kerajaan yang berganti-ganti kehadirannya, punya beberapa warisan untuk kita. Bukan warisan fisik seperti candi dan prasasti lho. Tapi adalah warisan sifat. Apa itu? Bangsa kita (seperti sebelumnya), susah diajak untul bekerja oleh masing-masing raja mereka. Bangsa kita menganggap cukup dengan pemberian, atau hadiah, atau sedikit kemewahan yang dibagikan orang kerajaan saja mereka sudah makmur. Ya, memang makmur, tapi tidak sepenuhnya definisi "makmur" itu mereka raih. Karena mereka tetap saja miskin. Lha, kalau makmur kan bisa bikin kerajaan tandingan kan? Nah, kalau mereka merasa gak makmur, pasti akan merasa sangat kesal, tapi tidak pernah diungkapkan, yang pada akhirnya sering kita sebut "dendam kesumat". Emangnya gak boleh ya orang kesal? Ya boleh  saja, tapi dendam kesumat itulah yang memudahkan bule-bule sok ramah yang dalam sejarah kita kenal sebagai kompeni itu memprovokasi orang untuk melakukan pemberontakan yang pada akhirnya makin memperpecah bangsa. Makin banyak, dan terus bertambah jumlah kerajaan yang muncul, yang saya jamin juga membuat anda pusing belajar sejarah. Warisan itu masih ada sampai sekarang. Pemerintah selalu dituntut mensejahterakan rakyat, yang jujur saja sulit untuk menyejahterakan SEMUA walaupun harus mengubah Undang-Undang yang membolehkan bule memimpin negeri ini alias mempersilahkan penjajah datang lagi.
Makin tinggi tensinya, ya...
Sesuai judul, coba kita renungkan sifat kita yang pertama, yaitu bekerja keras kalau dipaksa. Cobalah kata "kalau" diganti dengan "tanpa". Harusnya kita sudah makmur tuh dari dulu.
Untuk mencapai inti dari tulisan ini, saya malah menyeret moyang kita ya...maka dari itu maafkan segala kesalahan dalam membuat tulisan ini, karena sesungguhnya cuma bermotif untuk memotivasi diri saya sendiri khususnya dan anda pembaca sekalian pada umumnya (serasa dakwah Jum'at ya :D)

Uthlubul ilma walau bishshin

Melihat perjalanan hidup rekan saya yang tengah berada di bagian terbawah siklus roda berputar, sebenarnya menggelitik keinginan untuk menulis di sini lagi. Haha
Dalam memandang sebuah kegagalan, tidak semua orang kan bisa menerima dengan baik kegagalan itu? Ilustrasinya begini, ada seorang anak SMP yang dengan hebatnya bisa masuk di SMA favorit semua orang di Indonesia. Tentunya siapapun yang mengenalnya pasti bangga kan? Nah, dalam perjalanannya mengarungi dunia SMA (halah), dia tergelincir dari arus persaingan manusia-manusia lebih cerdas, dan tahukah apa yang terjadi? Anak itu tidak naik kelas!! Si anak itu sendiri tahu dia sedang menghadapi marabahaya putus sekolah, tapi dia berusaha sekuatnya agar tidak tertinggal jauh, tapi nyatanya kembali gagal. Jika melihat fenomena yang sedang terjadi di masyarakat sekarang ini, normalnya dia sudah terjun payung (tanpa pakai parasut). Tapi dengan sikap ksatrianya, akhirnya dia mengibarkan bendera putih dan mencari lahan baru untuk "berperang". Sadar akan kapasitasnya, tentu dia kapok dengan sebutan "SMA favorit". Dia lebih memilih SMA yang biasa saja tapi bisa memberikan dia peluang untuk meniti sukses lagi. Tapi ya itulah masalahnya, lingkungan dia tetap memaksa untuk masuk SMA favorit lain, alasannya sederhana "biar kamu bisa masuk PTN yang top, kalau yang paling terfavorit bisa masa' yang terfavorit kedua gak bisa?". Luar biasa tidak menghargai posisi dia sekarang pikir dia. Dan pergemulan pikiran ini akan terus menyiksa dirinya, ya sampai dia dapat tempat lain. Atau bahkan malah masuk liang tanah 2x1 meter itu.
Sesuai dengan judul di atas, yang kalau boleh ditafsirkan berarti "tuntutlah ilmu walau ke negeri China". Rekan saya ini sudah mengadopsinya ke arah pemikiran yang menurut saya cukup bijak, tapi radikal dengan keinginan lingkungannya. "tidak apa saya melanjutkan belajar ke China walaupun saya gak suka sama lingkungannya, daripada membuang waktu belajar di Harvard atau MIT sana, yang walaupun dicintai dan dipuja banyak orang tapi tidak memikat hati saya lagi."
Lantas, bagaimana menurut anda?